Rambut panjang terurai, kekuatan tembakan spektakuler, hingga kekuatan fisik yang membuat banyak orang kagum, merupakan perwakilan kalimat dari seorang Gabriel Omar Batistuta.
Selama berkarier sebagai pesepakbola, Batistuta dikenal sebagai mesin gol sejati. Ia beberapa kali berganti klub dan yang paling diingat tentu saat pemain berjuluk Batigol ini memakai seragam kebesaran La Viola.
Disana, bahkan di Italia sekalipun, Batistuta adalah legenda. Meski tak memenangkan scudetto bersama Fiorentina, Batistuta tetaplah raja. Ia akan selalu diingat sebagai pemain yang pernah memanjakan ribuan pasang mata di dunia.
Gabriel Batistuta lahir pada 1 Februari 1969. Semasa kecil dulu, Batistuta dikenal sebagai anak yang sangat aktif. Ia tidak bisa diam dan memiliki beberapa hobi gila, termasuk menunggang kuda dan melakukan gerakan akrobatik.
Saat itu, tidak ada sepakbola dalam hidup Batistuta. Bahkan saat berada di sekolah dulu, Batistuta adalah siswa pintar yang gemar dengan pelajaran ilmiah. Ia bahkan bermimpi untuk menjadi dokter dan kerap menghabiskan waktu selama berjam-jam di laboratorium sekolah.
Namun tidak bisa dipungkiri memang jika Batistuta tertarik dengan olahraga. Akan tetapi, sepakbola bukanlah prioritasnya. Batistuta tumbuh menjadi anak yang cerdas dengan kegemarannya bermain bola basket.
Barulah pada Piala Dunia 1978, Batistuta mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap sepakbola. Ia tertarik merumput di lapangan hijau berkat melihat aksi para pemain Argentina yang sukses menggondol trofi paling prestis seantero dunia tersebut.
Batistuta mengawali karier profesionalnya di Newell’s Old Boys. Ia bermain dari tim muda untuk kemudian lolos ke tim utama. Karena dianggap miliki bakat yang tak main-main, River Plate lalu rela memboyongnya, dimana Batistuta berhasil mencetak 17 gol di musim perdananya.
Semusim berkarier di River Plate, Batistuta kemudian berlabuh di Boca Juniors. Meski sempat alami kesulitan diawal kariernya, , Oscar Tabarez yang menjadi manajer baru Boca Juniors memberi Batistuta dukungan dan menempatkannya di posisi terbaiknya di lapangan, yaitu sebagai pusat serangan.
Usai menjalani karier profesional bersama tiga klub berbeda di Negeri Tango yakni Newell’s Old Boys, River Plate dan Boca Juniors, Batistuta yang baru berumur 22 tahun diboyong Fiorentina ke Negeri Pizza di awal tahun 1990-an. Semua itu tentu bermula ketika Batistuta tampil impresif bersama Argentina di Copa America 1991.
Keputusan manajemen La Viola untuk membawa sang pemain ke Firenze rupanya tidak salah. Meski sempat kesulitan beradaptasi dengan kultur yang berbeda jauh dengan Argentina, Batistuta menunjukkan kelasnya sebagai predator handal di dalam kotak penalti lawan.
Batistuta dikenal sebagai penyerang hebat di masanya ketika dia bermain untuk Fiorentina mulai tahun 1991 hingga tahun 2000, di mana dia mencetak 168 gol.
Setelah gagal mencapai impiannya meraih scudetto bersama Fiorentina, Batistuta memutuskan pergi dan bergabung dengan AS Roma pada tahun 2000. Batistuta pergi setelah Roma mencapai kesepakatan senilai 36,2 juta euro. Di musim pertamanya bersama Roma, Batistuta sukses mewujudkan mimpinya dengan membawa Giallorossi menjuarai Serie A untuk pertama kalinya sejak 1983. Namun di tahun terakhirnya di Roma, yakni pada 2003, Batistuta dipinjamkan ke Inter Milan sebelum akhirnya gabung Al-Arabi.
Dibalik karier gemilang sang predator, Batistuta miliki kisah yang amat kelam. Diceritakan olehnya, Batistuta memiliki kisah memilukan usai pensiun. Masalah pergelangan kaki yang dia alami sempat membuatnya tak bisa berjalan dan harus menggunakan suntikan penghilang rasa sakit dan sempat meminta dokter untuk mengamputasi kakinya.
Mimpi buruk itu terjadi sekitar tahun 2005 silam.
“Aku menangis kesakitan jadi aku meminta dokter mengaputasi kaki-kaki ku,”
“Aku merasa sakit, sakit, dan lebih sakit. Operasi adalah sebuah solusi yang aku cari selama setidaknya enam atau tujuh tahun. Dalam 40 hari, ketika aku memindahkan brace-nya, kita akan tahu apakah rasa sakit itu sudah hilang, dan aku akhirnya bisa berjalan seperti orang normal lagi.”
Juara dua Copa America ini pun lantas mengaku bahwa ia menyadari adanya masalah pada engkel sesaat setelah pensiun.
“Sesaat setelah aku berhenti bermain, aku mendapati engkelku berkeping-keping. Tulang melawan tulang, menopang berat 86-87 kilogram. Gerakan sekecil apa pun menjadi menyakitkan.” ujar Batistuta (dikutip dari goal)
Berkat mendengar saran dokter untuk melakukan pengobatan tanpa mengamputasi kakinya, Batistuta akhirnya bisa berjalan dengan normal.
Masa-masa itu disebutnya sebagai yang terburuk. Ia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur dan harus menyeret kakinya ketika pergi ke kamar mandi.
Pria 50 tahun itu sebelumnya tidak memiliki masalah ini saat masih bermain. Ia mencetak 242 gol untuk Fiorentina, Roma dan Inter, serta 54 gol untuk Argentina.
Saat masih bermain, Batistuta terkenal dengan kekuatan tendangannya. Ia kerap mencetak gol dari tendangan keras penuh tenaga yang sulit diantisipasi kiper.
Terlepas dari semua itu, kini ia kembali menjalani hidupnya dengan normal. Batistuta menjalani hobinya dalam berkuda dan bermain golf, namun tidak berniat kedalam dunia sepakbola.
Ketika ditanya mengapa ia tidak berniat kembali ke dunia yang telah membesarkan namanya, Batistuta menjawab,
“Aku tidak menyukai sepakbola. Itu hanya pekerjaanku” (dikutip dari lifebogger).