Nomor punggung 10 menjadi yang paling elit dalam dunia sepakbola. Pasalnya, sejak dulu nomor tersebut dikenakan oleh pemain yang benar-benar memberi pengaruh besar bagi tim yang dibelanya.
Mulai dari Pele, Diego Maradona, Ronaldinho, hingga Lionel Messi, deretan pemain kelas atas itu terbukti telah memberi banyak sumbangan trofi untuk tim yang dibelanya.
Satu yang mungkin sedikit terselip adalah Juan Roman Riquelme. Pria Argentina yang juga lekat dengan nomor punggung 10.
Tepat pada 24 Juni 41 tahun lalu, Argentina kedatangan calon bintang baru. Riquelme, nama yang nantinya akan menjadi playmaker handal dan dicintai banyak orang.
Mengenang romantisme Riquelme dengan sepakbola, semua pasti setuju kalau ia mampu menjadi wujud sempurna yang sulit digantikan. Riquelme bukanlah Maradona, ia juga bukan Lionel Messi. Namun, rakyat Argentina patut berbangga karena Riquelme pernah mengharumkan nama negara melalui keindahan mengolah bola.
Jika melihat Riquelme bermain, semua akan disuguhkan sebuah gocekan sederhana namun mematikan. Melangkah secara sederhana, mengumpan sesuai arah, menembak diwaktu yang tepat. Riquelme benar-benar membuat semua orang menikmati sebuah pertandingan.
Sebagai pemain berkelas, Riquelme memiliki visi bermain yang tak kalah hebat dari seorang Xavi Hernandez. Umpannya pun tak kalah menggelegar seperti Andrea Pirlo. Terlebih, caranya dalam melewati lawan juga tergolong elegan. Sekali lagi, Riquelme adalah sosok playmaker handal.
Riquelme adalah wajah Argentina. Tempo dulu memang, oleh sebab itu ia selalu disebut sebagai gerbong terakhir dari sepak bola klasik yang pudar dimakan zaman.
Sulit menepikan pesona Riquelme walau ia sudah resmi menepikan diri dari lapangan hijau sejak 25 Januari 2015. Memori tentangnya tidak pernah menyoal soal kesedihan atau rasa kecewa, melainkan selalu penuh puja-puji, romansa, dan cerita-cerita puitik yang menyenangkan.
Soal nomor 10 yang melekat dalam dirinya, Riquelme menjadi sosok yang makin spesial. Ia begitu syahdu dengan nomor tersebut. Sepuluh adalah mimpi. Sepuluh adalah harapan. Sepuluh adalah Riquelme.
Bukan satu, tapi puluhan mimpi, harapan, angan, hingga keajaiban.
Riquelme dilahirkan sebagai anak pertama dari 11 bersaudara. Sang ibu, memberikan nama Roman seolah ia tahun bahwa Riquelme akan memberikan romansa tak terhingga dalam keluarganya. Tak hanya itu, Roman dalam diri Riquelme juga nyatanya mampu memberikan kebahagiaan bagi dunia yang membesarkan namanya, yaitu sepak bola.
Riquelme memulai karier juniornya di Argentinos Juniors sebelum akhirnya bergabung dengan Boca Juniors, untuk kemudian menjadi legenda.
Riquelme juga pernah bermain untuk Barcelona. Meski tak mampu sumbangkan gelar apapun, setidaknya kaki-kaki lentiknya mampu memberi gelar untuk tim kapal selam kuning di tahun 2004.
Riquelme yang banyak dikenal di Villareal mampu sumbangkan Piala Intertoto di era entrenador Manuel Pellegrini.
Bersama Villareal, Riquelme bermain hingga awal 2007. Ia telah menciptakan 45 gol dalam 145 laga.
Pada Februari 2007, Riquelme kembali ke klub lamanya, Boca Junior dengan status pinjaman hingga Juni 2007. Memasuki musim 2007/08 Riquelme mendapat kontrak permanen, ia bermain di sana hingga tahun 2014, setahun berselang ia memutuskan gantung sepatu bersama klub terakhirnya Argentinos Juniors.
Mengutip perkataan dari mantan pemain Argentina, Jorge Valdano, ia pernah menggambarkan dengan jelas bagaimana cara menikmati Riquelme bermain. Semua bisa saja mengajakmu ke satu tujuan dengan cara yang cepat melalui jalan tol, tapi dengan Riquelme, kamu akan melalui jalan berliku, penuh kelokan, namun di dalamnya, kamu akan melihat pemandangan terindah yang belum pernah kamu lihat sebelumnya.
Riquelme memanglah sosok pria yang bermain dengan caranya sendiri. Ia tetap teguh pada permainan klasik meski permainan sepakbola semakin modern.
Meski terdengar egois, itu semua adalah tentang kesenangan. Ia malas, tapi rasa-rasanya untuk menjadi pemain bintang tak perlu banyak berlari. Tak percaya? Maka tanyakan hal itu pada Andrea Pirlo. Atau setidaknya Deco de Souza punya jawaban tentang permainan yang ditunjukkan Riquelme.
Riquelme tidak berada dititik yang gemar berlari dan mencetak gol seperti Thierry Henry. Ia juga tak suka bergaya keras seperti Gennaro Gattuso. Untuk menjadi filsuf seperti Dennis Bergkamp pun ia enggan. Legenda asal Belanda itu memang jenius. Namun, ia terlalu profesional untuk patuh kepada Arsene Wenger. Kaku dan terlalu dingin bukanlah tipe Riquelme.
Lagi-lagi, Riquelme menjadi legenda dengan caranya sendiri. Ia suka mencetak gol lewat servis bola mati. Ia juga suka mengumpan dengan arah tepat yang kemudian bisa dimaksimalkan menjadi gol.
Riquelme datang, menendang, dan menang.
Namun untuk merangkum karier yang terlalu indah dari seorang Riquelme, kita tak membutuhkan banyak trofi.
Untuk sang maestro sekelasnya pun tak mendapat gelar Ballon D’or. Tapi memang, pemain hebat terkadang tak butuh pengakuan.
2015 menjadi penanda akhir dari gelandang serang klasik. Riquelme akan selalu menjadi dongeng yang diceritakan secara turun temurun.
Juan Roman Riquelme, ia pernah ada, masih ada, dan akan selalu ada.